Memahami Eksistensi Diri

0
387
time

Imam Syafi’i pernah mengatakan: “Seandainya manusia mencermati surat Al-‘Ashr secara seksama, niscaya surat ini akan mencukupi manusia.”

Surat ini dibuka dengan semacam warning bagi kita: “Demi waktu, sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian….”. Peringatan ini begitu menyentakkan kesadaran tentang waktu dan kesadaran tentang eksistensi diri kita sebagai manusia.

Namun, pemaknaan terhadap waktu akan sangat tergantung pada ideologi dan ‘worldview’ orang yang memaknainya. Bagi pengikut ideologi time is money, waktu adalah uang. Pemeluk paham ini mengidentifikasi dirinya sebagai manusia pekerja yang visi besarnya adalah mendapatkan uang dan menumpuk harta sebanyak-banyaknya.

Ada orang-orang yang memiliki kredo bahwa waktu adalah kesenangan. Selagi masih hidup, manfaatkan waktu untuk bersenang-senang. “Ngapain dipikirin berat-berat. Hidup toh pendek. Let’s have fun, mumpung masih hidup”, katanya.

Bagi Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman, kegagalan manusia dalam menghayati eksistensi dirinya akan menjebaknya dengan apa yang disebutnya sebagai ‘banalitas’ kemanusiaan, mengejar kenikmatan-kenikmatan inderawi yang semu tanpa adanya kesadaran spiritual yang lebih bermakna.

Contoh mudah, di jalan-jalan Indonesia, saya sering melihat mobil mewah, lalu dari dalam mobil tersebut, penumpangnya membuang sampah ke jalan melalui cendela mobil. Manusia-manusia jenis ini tercapai kebutuhan materinya, namun menderita tuna sprititual. Ia gagal paham tentang perlunya menjaga kebersihan dan menghormati pengguna jalan yang lain yang juga merupakan ajaran Tuhan bagi kaum beriman.

Agar kita tidak gagal paham dalam menghayati eksistensi kita, lanjutan ayat dari surat al Ashr mengajak kita untuk memaknai keberadaan kita sebagai manusia dan mengisinya dengan perkara-perkara yang bermakna pula: melakukan ikhtiar-ikhtiar untuk meningkatkan kualitas iman kita (tentu sekaligus menjadikan iman sebagai energi yang menggerakkan kebaikan perilaku kita), mengisi kehidupan dengan prestasi amal shaleh dan menyebarkan pesan-pesan kebaikan dan kesabaran.

Di tahun baru 2017 ini, sudahkan kita berhasil menghayati eksistensi kita? Mengisi waktu dengan perkara-perkara yang bermakna? Ataukah masih terus masih mengalami ‘tuna spiritual’ dan banalitas kemanusiaan, sehingga hidup kita kering tanpa makna?

Melbourne, 4 Januari 2017
Ustadz Endro DH
Dewan Asatidz PCIM ANZ