Beberapa waktu yang lalu, umat Islam memboikot sebuah perusahaan roti bernama Sari Roti. Sebabnya, perusahaan ini mengumumkan tidak terlibat dalam gerakan 212 yang disebutnya secara implisit sebagai gerakan anti kebhinekaan dan NKRI. Jauh hari sebelumnya, umat Islam juga menyuarakan boikot terhadap sebuah stasiun tivi yang dianggap sering menyudutkan umat Islam dalam journalisme dan pemberitaannya.
Maraknya gerakan boikot terhadap sebuah produk menyiratkan dua hal. Pertama, kesadaran umat dan ‘critical thinking’ terhadap anasir-anasir ketidakdilan meningkat. Kedua, maraknya boikot juga mengindikasikan bahwa umat ini masih menjadi konsumen tapi belum menjadi produsen. Kita belum menjadi pemain utama. Kita masih belum menjadi subyek dari produktifitas, baru menjadi obyek dan penonton. Din Syamsuddin, mantan ketum Muhammadiyah mengatakan bahwa umat yang berbesar ini masih berposisi marginal dalam geo ekonomi dan politik.
Kondisi ini tentu antitesis dengan panggilan kitab suci. Orang beriman diibaratkan oleh banyak ulama, dengan mengacu pada pesan surat Ibrahim 24-25, sebagai sebuah pohon yang ‘akar’ akidahnya kokoh, ‘batang’ moralitas dan akhlaknya anggun membumbung tinggi dan ‘buah-buah’ produktifitasnya dapat dimanfaatkan untuk kemanusiaan. Kokohnya akidah dan mulianya moralitas tanpa dibarengi oleh produktifitas dan amal kesalehan belumlah menjadikan kita lengkap sebagai kaum beriman.
Kiai Ahmad Dahlan adalah seorang tokoh yang sejatinya bisa menjadi referensi kita untuk menjadikan kitab suci sebagai elan vital produktifitas. Lewat gerakan yang digagasnya, ribuan sekolah didirikan, ratusan kampus dibuka, ratusan rumah sakit, panti jompo dan panti asuhan dibangun.
Kiai Dahlan berhasil mentranformasikan gerakan “amar ma’ruf” menjadi spirit “fight for”, berjuang untuk membangun peradaban umat melalui aksi nyata dalam bidang pendidikan, kesehatan dan kemanusiaan. Beliau juga berhasil memberi makna “nahi munkar” dengan semangat “fight against”, berjuang melawan kemunkaran, kekufuran, kemunafikan, ketidakadilan, marginalisasi, kebodohan dan kemiskinan.
Kiai Dahlan berhasil menguatkan ‘sibghah’ keislaman pada umat, namun pada saat yang bersamaan mengajak umat untuk proaktif berkontribusi melalui prestasi, tegas menjaga akidah namun tangkas dalam membangun berbagai kemajuan.
So, jangan puas dengan gerakan boikot, namun teruskan dengan gerakan produktif: membangun potensi umat dan menginisiasi berbagai ikhtiar untuk membangun kemajuan diberbagai bidang penghidupan.
Gerakan boikot Sari Roti harus membangun semangat untuk umat untuk memproduksi “Syar’i Roti”, TV syar’i, rumah sakit syar’i, bank syar’i, perusahaan syar’i, kampus syar’i, pusat pengembangan teknologi syar’i dan berbagai produktifitas syar’i yang lain.
Melbourne, 19 Desember 2016
Ustadz Endro