Supervisor saya, Prof. Desmond dari sebuah kampus di Australia, adalah orang yang sangat baik meskipun ketika berbicara tentang Islam dia nyinyirnya tingkat dewa. Baginya, Islam adalah prototype sebuah masyarakat yang jumud dan anti kemajuan.
Lucunya, ketika saya berbicara tentang Muhammadiyah, si ‘doi’ sangat ‘respect’. Mungkin dia menyangka Muhammadiyah bukan bagian dari Islam hehe. Menurutnya, Muhammadiyah dengan produktifitas amal usahanya mulai dari universitas, sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan panti jompo adalah bukti bahwa masyarakat Islam bisa meraih kemajuan.
Ternyata Sang Profesor tahu Muhammadiyah karena kenal dengan tokoh-tokoh ormas ini yang selalu mengundangnya untuk menjadi pembicara dalam berbagai event yang diselenggarakan ormas ini.
Ada kata-kata dari profesor saya yang menarik ketika dia berbicara tentang agama. Agama yang baik, menurutnya, adalah agama yang nilai-nilainya ‘workable’ dalam mengantar keselamatan akhirat (tentu menurut iman masing-masing) dan merintis kemajuan dunia. Walaupun profesor ini adalah seorang non-Muslim, kata-katanya persis seperti yang termaktub dalam Quran: “Dan carilah pahala negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan baiganmu di dunia….” (Al Qasas: 77).
Komentar profesor saya yang miring tentang agama, khususnya Islam, agaknya dipengaruhi oleh para pemikir yang punya persepsi nyinyir terhadap agama.
Bagi Marx, misalnya, agama adalah candu. Menurut eyang Marx, Agama telah menciptakan ilusi kebahagiaan bagi orang-orang miskin. Katanya, agama seolah ingin mengatakan kepada Anda: “It is OK to be poor; you will find true happiness in the next life”.
Nietzsche lebih nyinyir lagi. Mungkin karena saking bencinya sama agama dia sampai berkata bahwa Tuhan telah mati, terkalahkan oleh kekuasaan akal kita.
Saat ini, kenyinyiran terhadap agama tampaknya diikuti oleh banyak kaum nyinyirun baik itu dari kalangan birokrat, politisi ataupun kaum netizen yang berpetualang di belantara media sosial. Belum lama ini, seorang menteri mengajak kita, “Jangan terlalu serius dengan agama”.
Bagi pak Mentri, mungkin serius dalam beragama akan menjadikan diri Anda radikal.
Beberapa waktu lalu, para ulama dituding oleh seorang politisi senior, eyangnya politisi, sebagai para peramal masa depan yang belum tentu jelas kebenarannya. Aneh, kata-kata politisi ini kok mirip pendapatnya simbah Karl Marx, dedengkot komunisme itu?
Pertanyaannya, apakah Islam itu candu, atau apakah nilai-nilainya kapabel dalam mengusung kemajuan? Islam, dilihat dari terminologi dan sejarah kemajuan yang pernah disaksikan sejarah, adalah agama yang kondusif untuk mengkonstruksi kemajuan umatnya.
Kata ‘aslama’ yang terkait dengan kata Islam, menurut Ibn Buzurj, bermakna meingngalkan suatau keadaan yang dahulu dialami dan menuju kepada keadaan baru.
Mengislam, dengan demikian, bisa dimaknai meninggalkan kejumudan menuju kemajuan atau keadaan yang lebih baik.
Spirit ‘aslama’ ini kemudian diterjemahkan oleh Muhammadiyah menjadi dua etos, yakni purifikasi dan dinamisasi. Purifikasi adalah kembali kepada Quran dan Sunnah dan dinamisasi berarti meraih kemajuan. Dinamisasi adalah keunggulan. Purifikasi adalah Islami. Dengan demikian, kemajuan bukanlah lawan dari Islam. Islam bisa mengakomodasi kemajuan.
Sikap religius kita bukan berarti bahwa kita harus ndeso dan anti kemajuan. Kita bisa menjadi manusia religius, sekaligus menjadi manusia yang maju dan unggul.
Kunci kemajuan adalah kualitas. Dalam kitabnya “Fikih prioritas”, Yusuf Qardawi menasehatkan kaum muslim untuk mengutamakan kualitas daripada kuantitas.
Quran mengritik golongan yang berjumlah banyak, namun miskin kualitas: “Katakanlah segala puji bagi Allah, tetapi KEBANYAKAN MEREKA tidak mengerti” (Al-‘ankabut: 63); “….tetapi KEBANYAKAN MANUSIA tidak mengetahui” (Al-A’raf: 187); “Dan jika mau mengikuti KEBANYAKAN ORANG di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah…” (Al-An’am: 116). …”Dan SEDIKIT SEKALI DARI HAMBA-HAMBAKU yang bersyukur” (Saba’: 13).
Membangun kemajuan mensyarakatkan sikap keterbukaan, mengembangkan budaya membaca dan meneliti, kapabel dalam mengadopsi konsep-konsep manajemen dan kepemimpinan, quality assurance dan budaya mutu serta menerapkan best-practice dalam tata kelola organisasi.
Bersama dengan umat-umat yang lain marilah kita, kaum muslim, rayakan kompetisi positif guna meraih kemajuan-kemajuan kemanusiaan dengan mengandalkan kualitas dan keunggulan.
Endro DH
Yogya, 28 Agustus 2017